Pasbana - Di tengah gemuruh modernisasi, Provinsi Sumatera Barat, khususnya di Kecamatan Pauh, Kota Padang, masih mempertahankan kekayaan budaya Minangkabau yang khas. Salah satu warisan seni tradisional yang masih bertahan adalah Saluang Pauh, alat musik tiup berbahan bambu tipis (talang) yang kerap mengiringi kaba (cerita rakyat).
Kesenian ini bukan sekadar hiburan, melainkan juga sarat dengan nilai filosofis dan kearifan lokal yang mendalam. Artikel ini akan mengulas asal usul, makna filosofis, struktur pertunjukan, serta tantangan pelestarian Saluang Pauh, dilengkapi dengan data dan kutipan dari sumber terpercaya.
Asal Usul dan Makna Filosofis Saluang Pauh
Saluang Pauh berasal dari daerah Pauh, Padang, dan merupakan hasil akulturasi dua alat musik tradisional Minangkabau: Bansi dari Pesisir Selatan dan Saluang dari darek (pusat Minangkabau). Menurut Bujang Lolit, seorang seniman Saluang Pauh yang masih aktif, alat musik ini memiliki ciri khas tersendiri. "Meskipun bentuknya mirip dengan Bansi, namanya tetap Saluang karena berasal dari daerah Pauh," jelasnya.
Saluang Pauh biasanya dimainkan dalam pertunjukan dendang Pauh, yang menggabungkan vokal dan musik. Pertunjukan ini sering diadakan dalam acara adat seperti pesta perkawinan, upacara kematian, atau acara nagari.
Fadila Deliankar, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, menjelaskan bahwa dendang Pauh tidak hanya menghibur, tetapi juga menyampaikan pesan moral dan nasihat kehidupan. "Kaba yang dilantunkan seringkali menceritakan kisah perantauan, percintaan, dan nilai-nilai budi pekerti masyarakat Minangkabau," ujarnya.
Salah satu filosofi yang terkandung dalam Saluang Pauh adalah pesan untuk tidak melupakan kampung halaman. Melodi yang dihasilkan seolah mengajak pendengar untuk "menoleh ke belakang" sebelum melanjutkan perjalanan hidup. Hal ini sejalan dengan falsafah Minangkabau: “Satinggi-tinggi tabang bangau, jatuah ka kubangan juo” (Setinggi-tinggi terbang bangau, jatuhnya ke kubangan juga).
Struktur Pertunjukan dan Keunikan Saluang Pauh
Pertunjukan Saluang Pauh biasanya melibatkan dua orang: seorang peniup Saluang dan seorang pendendang (penyanyi). Desmawardi, peneliti dari Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, menjelaskan bahwa pertunjukan ini memiliki struktur yang khas.
"Pertunjukan diawali dengan irama Pado-pado, dilanjutkan dengan Pakok Anam, Pakok Limo, Lereang, dan diakhiri dengan Lambok Malam," ujarnya.
Uniknya, irama Lambok Malam hanya diiringi vokal tanpa musik Saluang. "Perpindahan irama dilakukan melalui kata-kata yang diigukan oleh pendendang, dan peniup Saluang akan langsung mengikuti," tambahnya.
Selain itu, Saluang Pauh juga memiliki ciri khas dalam penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Minangkabau dengan dialek Pauh Padang. Alan P. Merriam, ahli antropologi musik, menyatakan bahwa penggunaan bahasa dalam teks nyanyian tradisional sering dimodifikasi untuk mencapai efek musikal yang lebih menyenangkan.
Hal ini terlihat dalam pertunjukan Saluang Pauh, di mana kata-kata atau kalimat sering mengandung kiasan (metafora) dan perumpamaan (alegori).
Tantangan dan Upaya Pelestarian
Meskipun memiliki nilai budaya yang tinggi, Saluang Pauh menghadapi tantangan serius dalam pelestariannya. Tampan, wartawan dan pemerhati kesenian Saluang Pauh, mengungkapkan kekhawatirannya. "Generasi muda sekarang lebih tertarik pada kesenian modern. Mereka kurang mengenal dan menghargai kesenian tradisional seperti Saluang Pauh," ujarnya.
Tampan juga mengkritik kurangnya perhatian dari pemerintah. "Selama ini, pemerintah kurang peduli dengan nasib Saluang Pauh. Padahal, kesenian ini memiliki nilai budaya yang sangat tinggi dan patut dilestarikan," tambahnya.
Untuk mengatasi hal ini, beberapa upaya telah dilakukan. ISI Padang Panjang, misalnya, telah melakukan penelitian dan dokumentasi terhadap Saluang Pauh. "Kami berharap dengan penelitian ini, generasi muda dapat lebih mengenal dan mencintai kesenian tradisional mereka," kata Sriyanto, salah satu peneliti dari ISI Padang Panjang.
Selain itu, teknologi juga dimanfaatkan untuk memperkenalkan Saluang Pauh ke khalayak yang lebih luas. "Kami telah mengunggah beberapa pertunjukan Saluang Pauh ke YouTube agar lebih banyak orang yang mengenal kesenian ini," ujar Tampan.
Menjaga Warisan Budaya di Tengah Perubahan Zaman
Saluang Pauh adalah salah satu bentuk seni tradisional Minangkabau yang kaya akan nilai-nilai budaya dan filosofis. Meskipun menghadapi tantangan dari arus modernisasi, upaya pelestarian terus dilakukan oleh para seniman, peneliti, dan pemerhati budaya.
Seperti yang diungkapkan oleh Umar Kayam, kesenian tradisional adalah produk budaya yang tidak pernah lepas dari masyarakatnya. Oleh karena itu, pelestarian Saluang Pauh tidak hanya menjadi tanggung jawab para seniman, tetapi juga seluruh masyarakat Minangkabau.
Dengan mengenal dan mencintai kesenian tradisional seperti Saluang Pauh, kita turut menjaga warisan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita. Seperti kata pepatah Minangkabau: “Sakali aie gadang, sakali tapian barubah” (Sekali air besar, sekali tepian berubah). Perubahan zaman tidak boleh membuat kita melupakan akar budaya kita sendiri.
Dengan upaya bersama, Saluang Pauh dapat terus hidup dan menjadi kebanggaan budaya Minangkabau di masa depan. Makin tahu Indonesia.(budi)