Padang Panjang, pasbana - Ada yang berbeda siang itu di halaman rumah Elfi, Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT) Berkah, yang terletak di Kelurahan Balai-Balai, Kecamatan Padang Panjang Barat.
Biasanya, halaman itu hanya menjadi tempat berkumpul santai, tapi Rabu (16/4/2025) lalu, suasana berubah menjadi semacam “laboratorium kecil” yang riuh dan penuh semangat.
Suara ketukan golok bercampur dengan tawa ibu-ibu yang sibuk mencacah daun, batang, dan limbah dapur. Di bawah cahaya matahari yang bersahabat, mereka mengikuti pelatihan membuat pupuk kompos organik—sebuah langkah sederhana tapi bermakna dalam menjaga bumi.
Dipandu langsung oleh Koordinator Penyuluh Pertanian, Murniati, dan Penyuluh Lapangan, Riko, pelatihan ini mengajarkan cara menyulap limbah rumah tangga menjadi kompos kaya nutrisi. Tekniknya pun sederhana dan ramah lingkungan.
“Tumbuhan titonia, sekam padi, ampas buah, sisa sayuran, hingga abu jerami bisa dicampur jadi satu. Lalu kita tambahkan EM4, cairan mikroorganisme yang bantu mempercepat fermentasi,” ujar Murniati sambil menunjukkan bahan-bahannya.
Setelah dicampur, adonan kompos ini dimasukkan ke karung dan dibiarkan selama 21 hari. Hasilnya? Kompos siap pakai yang bisa menyuburkan kebun sayur atau taman rumah.
Menariknya, bahan-bahan itu mudah didapat. Tak perlu beli mahal, cukup kumpulkan dari sisa dapur harian.
Menariknya, bahan-bahan itu mudah didapat. Tak perlu beli mahal, cukup kumpulkan dari sisa dapur harian.
“Kompos ini bisa jadi solusi pertanian ramah lingkungan sekaligus upaya mengurangi sampah,” lanjut Murniati.
Menjawab Darurat Sampah
Langkah kecil ini nyatanya membawa harapan besar, terutama bagi Elfi dan rekan-rekannya di KWT Berkah. “Ini bukan sekadar pelatihan, tapi titik awal gerakan peduli lingkungan,” kata Elfi.
Di tengah masalah klasik seperti penuhnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sungai Andok, inisiatif seperti ini terasa sangat relevan.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup Kota Padang Panjang, volume sampah harian kota ini mencapai 50 ton. Dengan asumsi satu orang menghasilkan sekitar 0,8 kg sampah per hari, tak heran jika kapasitas TPA mulai kewalahan.
Di berbagai kota besar di Indonesia, isu pengelolaan sampah juga jadi perhatian serius. Berdasarkan laporan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hanya sekitar 7,5% dari total sampah nasional yang berhasil dikomposkan per tahun. Sisanya menumpuk di TPA atau mencemari lingkungan.
“Kalau bisa kita olah dari rumah, kenapa harus nunggu menumpuk di TPA? Ini soal kebiasaan,” tambah Elfi.
Perempuan dan Perubahan
Yang membuat gerakan ini makin istimewa, adalah peran sentral para ibu rumah tangga.
Di balik rutinitas domestik, mereka hadir sebagai agen perubahan lingkungan. Tak hanya belajar mengolah sampah, mereka juga menanamkan nilai cinta alam kepada keluarga dan tetangga.
Fenomena seperti ini sejalan dengan semangat zero waste lifestyle, sebuah gaya hidup yang mengajak masyarakat mengurangi produksi sampah sejak dari rumah. Di kota seperti Padang Panjang, yang dikenal bersih dan sejuk, gerakan ini terasa sangat cocok untuk diterapkan.
“Kami ingin membuktikan, perubahan itu bisa dimulai dari dapur sendiri,” ujar salah satu peserta pelatihan sambil tersenyum lebar.
Bagi KWT Berkah, kompos ini tak hanya bermanfaat bagi lingkungan. Nantinya, hasil kompos bisa digunakan untuk menyuburkan kebun kolektif yang ditanami cabai, tomat, dan sayuran lain. Bahkan, ada rencana menjual pupuk ini secara kemasan, membuka peluang ekonomi baru bagi ibu-ibu di sana.
“Kalau bisa jadi tambahan penghasilan, kenapa tidak?” ucap Elfi penuh semangat.
Gerakan kecil, semangat besar. Dari halaman rumah yang sederhana, ibu-ibu ini menanam benih perubahan yang bisa berdampak luas.
Karena seperti pepatah bijak mengatakan, "Perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang konsisten."
Dan siapa sangka, langkah itu ternyata bisa dimulai dari sekam padi dan ampas buah di dapur rumah sendiri.(*/bd)
Dan siapa sangka, langkah itu ternyata bisa dimulai dari sekam padi dan ampas buah di dapur rumah sendiri.(*/bd)