Pasbana - Bayangkan Anda sedang berada di roller coaster pasar saham. Ketika pasar jatuh, rasa panik menguasai, dan Anda memutuskan keluar untuk "menghindari kerugian lebih dalam". Tapi tahukah Anda? Justru di saat-saat terkelam itulah peluang terbesar sering muncul.
Faktanya, 6 dari 7 hari terbaik di pasar saham AS (2000-2020) terjadi tepat setelah hari terburuk (data: S&P 500). Artinya, jika Anda mencoba "timing the market" dengan keluar saat turbulensi, Anda mungkin justru melewatkan rebound spektakuler.
Lalu, bagaimana cara bijak menghadapi volatilitas? Simak analisis berikut.
1. Mitos Timing the Market: Mengapa Sulit Diprediksi?
Banyak investor berpikir, "Saya akan keluar sementara, lalu masuk lagi saat pasar membaik." Sayangnya, strategi ini sering gagal karena:
- Hari terbaik dan terburuk biasanya berdekatan. Misalnya, 7 dari 10 hari terburuk diikuti oleh rebound signifikan keesokan harinya.
- Emosi mengalahkan logika. Ketika pasar merah, rasa takut membuat kita enggan membeli, padahal saat itulah harga diskon.
Contoh Nyata:
Pada Maret 2020, IHSG anjlok ke level 3.900 karena pandemi. Banyak yang menjual karena khawatir krisis berkepanjangan. Tapi hanya dalam 6 bulan, IHSG rebound 40%+. Mereka yang keluar gagal menikmati pemulihan.
2. Alternatif Timing the Market: Hindari Saham Downtrend
Daripada mencoba memprediksi waktu terbaik masuk/pasar, lebih baik fokus menghindari saham dengan tren turun.
Berikut pelajaran dari pengalaman penulis:
- BBRI: Tidak terkena koreksi pertama karena membaca sinyal growth sudah mencapai puncak (riset Algo Research). Saham turun 20% sejak puncak.
- Banking Sector Koreksi Kedua: Analis asing memprediksi pertumbuhan di bawah 10%, jadi dihindari.
- JP Morgan Tactical Overweight: Justru cuan saat koreksi ketiga karena ada sinyal beli dari riset kredibel.
Pelajaran:
- Saham downtrend = seperti penyakit.
Lebih baik hindari sejak awal daripada mencoba "average down" (menambah beli saat turun) tanpa analisis.
- Gunakan metrik objektif ala Warren Buffett (misal: rasio market cap/GDP) atau rekomendasi analis tepercaya.
3. Saat Terburuk = Peluang Terbaik?
Ketika berita negatif membanjiri pasar (PHK massal, inflasi tinggi, USD/IDR melejit), justru itu saat semua risiko sudah "priced in" (tercermin di harga).
Contoh:
- Krisis 1998: IHSG jatuh 50%, tapi dalam 5 tahun naik 300%.
- Pandemi 2020: Saham travel seperti MPPA sempat hancur, tapi pulih 200% di 2021.
Strategi:
- Jangan terjebak sentimen.
Jika fundamental perusahaan kuat, koreksi adalah kesempatan beli.
- Diversifikasi. Alokasikan portofolio ke sektor yang resilien (misal: konsumsi, kesehatan).
Tips Praktis untuk Investor Retail
1. Jangan terobsesi "bottom fishing" (membeli di titik terendah). Fokus pada tren dan fundamental.
2. Ikuti riset kredibel, bukan sekadar rumor.
3. Stop loss disiplin. Jika tren berubah negatif tanpa dasar kuat, lebih baik cut loss.
4. Manfaatkan DCA (Dollar-Cost Averaging) untuk investasi jangka panjang.
Pasar saham selalu bergerak dalam siklus: setelah badai, pasti ada pelangi. Daripada stres mencoba timing the market, fokuslah pada kualitas saham dan manajemen risiko.
"The stock market is a device for transferring money from the impatient to the patient."– Warren Buffett. (*)