Padang, pasbana - Di sudut tenang Kecamatan Pauh, Kota Padang, ada sebuah jembatan yang mungkin tak banyak dikenal orang. Ia tak tinggi, tak megah, apalagi modern. Tapi siapa sangka, di balik penampilannya yang sederhana, jembatan tua di Kampung Batu Busuk ini memegang dua peran penting sekaligus: sebagai saksi bisu masa penjajahan dan sebagai gerbang menuju hamparan alam tropis yang memesona.
Dibangun pada awal abad ke-20, jembatan ini merupakan warisan arsitektur masa Hindia Belanda. Terbuat dari batu alam dan semen, jembatan ini unik karena tidak menggunakan besi sebagai penguat konstruksi—hal yang jarang ditemukan di masa sekarang. Meski usianya sudah lebih dari 100 tahun, jembatan ini masih berdiri kokoh, bahkan fungsional.
Menurut catatan Dinas Pariwisata Kota Padang, jembatan ini dulunya merupakan jalur logistik penting yang menghubungkan kawasan pertanian di Pauh dengan pusat kota Padang. “Strukturnya masih sangat kuat hingga kini. Ini bukti kemajuan teknik sipil di era kolonial, dan juga menjadi simbol penting dalam sejarah infrastruktur lokal,” ujar Ardiansyah, seorang peneliti arsitektur kolonial dari Universitas Andalas.
Jembatan ini bukan hanya benda mati dari masa lalu. Ia kini menjadi penghubung utama menuju destinasi wisata tersembunyi: Kampung Batu Busuk. Terletak sekitar 30 menit dari pusat Kota Padang, daerah ini menyajikan panorama alam yang masih perawan—dari sungai berair jernih, hutan tropis yang lebat, hingga kebun durian alami yang menggoda.
Kampung ini memang belum terlalu dikenal, tapi justru itu daya tariknya. Masih alami dan tidak terlalu ramai.
Tak ingin potensi ini sekadar lewat begitu saja, Pemerintah Kota Padang kini tengah menyusun rencana besar: menjadikan jembatan tua ini sebagai ikon utama ekowisata Batu Busuk. Konsep yang diusung pun ramah lingkungan dan berbasis masyarakat, atau dikenal dengan istilah community-based tourism.
Pengembangan pariwisata ini dilakukan secara kolaboratif, menggandeng komunitas pelestari sejarah, kelompok sadar wisata (Pokdarwis), hingga tim riset dari Universitas Andalas. Para arsitek lokal juga dilibatkan agar setiap pembangunan tetap mempertahankan nilai estetika kolonial yang menjadi daya tarik utama jembatan tersebut.
Batu Busuk bukan cuma tempat untuk berfoto atau piknik santai. Di sini, wisatawan bisa menyusuri sungai, trekking ke air terjun tersembunyi, ikut panen durian, bahkan belajar mengenal tanaman hutan lokal yang punya khasiat herbal. Ini adalah jenis wisata yang mengajak Anda untuk menyatu, bukan sekadar melihat.
Menurut ahli ekowisata dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Rizal Maulana, destinasi seperti Batu Busuk punya potensi besar sebagai model wisata masa depan. “Orang sekarang mencari pengalaman yang autentik. Mereka ingin menyentuh sejarah, mencium aroma hutan, dan mendengar suara sungai. Batu Busuk punya semua itu, termasuk jembatan kolonial yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini.”
Mengunjungi jembatan tua di Batu Busuk bukan hanya soal mengisi akhir pekan atau berburu foto Instagramable. Ini soal menyusuri lorong waktu, menyentuh sepotong sejarah yang tak banyak diceritakan di buku teks. Di saat yang sama, kita juga diajak melihat bagaimana warisan masa lalu bisa memberi warna bagi masa depan, lewat pariwisata yang berkelanjutan dan berdaya saing.
Jadi, jika Anda sedang merencanakan liburan yang tak biasa, kenapa tidak mencoba berkunjung ke Batu Busuk? Angin sejuk pegunungan, suara gemericik sungai, aroma durian segar, dan tentu saja—jembatan tua yang penuh cerita—menunggu untuk Anda temukan. Makin tahu Indonesia. (budi)