Notification

×

Iklan

Iklan

Keris di Dada: Falsafah Minangkabau tentang Marwah, Adat, dan Harga Diri

13 April 2025 | 07:51 WIB Last Updated 2025-04-13T02:04:54Z


Pasbana - Bagi masyarakat Minangkabau, keris bukan sekadar senjata pusaka. Letaknya yang menyilang di depan dada menyimpan falsafah hidup yang mengakar dalam budaya dan identitas. 

Ia bukan alat untuk menyerang, melainkan simbol harga diri, marwah, dan prinsip hidup yang tak mudah ditawar, bahkan dalam perantauan sekalipun.

Keris di Dada: Simbol Keberanian dan Harga Diri

Dalam kebudayaan nusantara, keris kerap dikenakan di samping atau belakang tubuh. Namun, berbeda dengan masyarakat Minangkabau: keris mereka tersemat di depan, tepat di dada. 

Letak ini bukan kebetulan, melainkan manifestasi filosofi yang dalam.
"Patah lidah bakeh kalah, patah karih bakeh mati," demikian pepatah Minang mengajarkan. Lidah yang patah—simbol dari kata dan pendirian—menandakan kekalahan. 

Namun, keris yang patah melambangkan hilangnya marwah: mati harga diri. Falsafah ini menunjukkan bahwa dalam budaya Minang, kehormatan lebih penting dari hidup itu sendiri.

Budayawan Minangkabau A.A. Navis pernah menulis bahwa adat Minang sarat dengan kiasan dan simbol yang tidak bisa ditangkap dengan nalar biasa. "Setiap gerak, tutur, dan benda, mengandung ajaran tersirat," tulisnya dalam Alam Terkembang Jadi Guru (1984).

Falsafah Kiasan: Petunjuk Hidup Orang Rantau

Tidak mudah memahami kedalaman kiasan Minang bagi mereka yang tidak tumbuh dalam tradisi ini. Bahkan bagi orang Minang sendiri, hanya yang arif dan bijak yang mampu menafsir makna di balik setiap kalimat. Salah satunya: "Anak Minang tidak merantau kalau tidak berisi."

'Berisi' di sini bukan semata bermakna ilmu batin atau keahlian praktis. Melainkan terisi oleh kiasan dan falsafah yang membentuk bekal hidup di negeri orang. 

Nilai-nilai ini menjadi kompas moral, pembimbing batin, sekaligus tameng sosial yang membentuk pribadi yang kuat di perantauan.

Petatah petitih seperti:
"Jikok tagak, tagaklah di nan data, jikok bajalan, bajalanlah di nan luruih,"
mengajarkan integritas dan keteguhan hati. 

Sedang:
"Ka rantau madang di hulu, babuah babungo balun,"
menyiratkan bahwa merantau adalah fase belajar dan berproses, bukan sekadar pergi mencari nafkah.

Adat dan Syarak: Dua Jiwa dalam Satu Tubuh

Bagi masyarakat Minang, tidak ada dikotomi antara budaya dan agama. Dalam prinsip Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, adat dan syariat berjalan berdampingan, saling menguatkan. 

Tokoh adat, Buya Hamka, dalam karya terkenalnya Tenggelamnya Kapal van der Wijck, menyinggung bahwa adat bukan hanya aturan sosial, melainkan "pantulan ajaran Islam yang hidup dalam jiwa orang Minang."

Karena itulah, bagi orang Minang, menjadi Islam bukan pilihan, tetapi bagian dari identitas. Menjadi penjilat, misalnya, tak hanya dicela secara sosial, tetapi juga dianggap sebagai pengkhianatan terhadap syarak dan adat.

Dalam konteks ini, membungkuk untuk kepentingan diri, mengorbankan prinsip, adalah tindakan yang setara dengan “mematahkan keris” sendiri. Ia tak hanya menanggalkan harga diri, tetapi juga keluar dari koridor kehormatan adat Minang.

Keris dan Digitalisasi: Menjaga Tradisi di Era Baru

Di era digital yang serba cepat dan pragmatis, nilai-nilai seperti marwah, kiasan, dan kehormatan sering terpinggirkan. Namun, banyak generasi muda Minangkabau di perantauan kini mulai kembali menghidupkan filosofi lama dalam cara baru.

Komunitas daring seperti Minang Diaspora Network dan kanal YouTube Marawa Minang mulai mempopulerkan kembali pepatah lama, kisah-kisah adat, dan bahkan simbol seperti keris, dalam bentuk yang lebih visual dan naratif.

Sosiolog kebudayaan menyebut bahwa revitalisasi budaya ini adalah bentuk “perlawanan simbolik terhadap arus globalisasi yang mengikis identitas lokal.” Dalam wawancara dengan Tempo (2023), ia menyatakan bahwa, “Mereka tidak hanya melestarikan, tetapi memberi konteks baru pada simbol lama.”

Marwah Tak Pernah Usang

Keris orang Minang di dada adalah pelajaran tentang bagaimana identitas dan prinsip bisa tertanam kuat dalam simbol yang sederhana. Ia tidak berubah seiring zaman, hanya cara menyampaikannya yang berbeda. 

Dalam kiasan-kiasan itulah anak Minang membawa bekal, bukan hanya untuk bertahan di rantau, tetapi juga untuk menjaga harga diri, adat, dan agama di tengah dunia yang terus berubah.

Sebagaimana pepatah tua mengingatkan:
Tak kayo barani pakai, tak pandai barani mamimpin.
Hiduik usah mangapalang, mati usah mangaratiang.

Dan itulah warisan sejati: tidak sekadar pusaka di pinggang, tetapi prinsip di dada. Makin tahu Indonesia. (Budi) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update