Notification

×

Iklan

Iklan

Ketika Nikmat Bertambah: Syukur yang Bergerak, Iman yang Berkibar

18 April 2025 | 06:51 WIB Last Updated 2025-04-17T23:51:29Z


 

Sebuah Janji yang Tak Pernah Lapuk

Pasbana - Di tengah gemuruh dunia yang sibuk mengukur kebahagiaan dengan materi, Allah menawarkan formula abadi: "Bersyukurlah, maka Aku tambah nikmat-Ku." (QS. Ibrahim: 7). Ini bukan sekadar janji, tapi hukum ilahi yang bekerja bak gravitasi—tanpa syarat, tanpa diskriminasi.  

Tapi di sini letak paradoksnya: semakin banyak nikmat, justru semakin banyak manusia yang lupa daratan. Harta melimpah, tapi jiwa kosong. Ilmu setinggi langit, tapi akhlak terpendam di tanah. 

Inilah ujian sebenarnya: bisakah nikmat yang bertambah justru mengantarkan kita makin dekat kepada Sang Pemberi Nikmat?

Syukur yang Tak Cukup di Lisan

Mengucap "Alhamdulillah" itu mudah. Tapi syukur sejati adalah syukur yang bergerak:  
- Ibadah: Bukan hanya rajin shalat, tapi juga menghidupkan sunnah-sunnah yang terlupa.  
- Sosial: Bukan sekadar sedekah sisa, tapi memberi yang paling kita cintai.  
- Dakwah: Bukan cuma ceramah di mimbar, tapi keteladanan di setiap lorong kehidupan.  

Rasulullah SAW—manusia paling bersyukur—justru semakin gemar berpuasa saat diberi kelapangan. Beliau mengajarkan: "Nikmat itu seperti air. Jika tak dialirkan, ia akan tergenang dan membusuk."  


Kufur Nikmat: Ketika Kemewahan Menjadi Jerat

Allah tak pernah melarang kita menikmati dunia. Tapi Dia mengingatkan:  

"Jangan sampai hartamu membuatmu lupa bagaikan orang yang terhipnotis." (QS. Al-Qashash: 77)  

Lihatlah tiga jebakan kufur nikmat zaman now:  
1. Harta berlimpah, tapi infak seret.
2. Gadget canggih, tapi waktu untuk Al Quran habis di scroll media sosial.
3. Gelar mentereng, tapi ilmu tak pernah diamalkan.  

Inilah yang disebut "kekayaan semu"—kaya di mata dunia, tapi miskin di hadapan Allah.  

Dakwah Bukan Panggung, Tapi Medan Pengabdian  

Menjadi dai di era instan adalah ujian berat. Banyak yang terjebak dalam dakwah eksibisi:  
- Viral di TikTok, tapi kosong dari ilmu.  
- Disanjung di podium, tapi akhlak di rumah berantakan.  

Allah menggambarkan dai sejati dalam QS. Al-Ahzab: 23: Mereka yang menepati janji, tak goyah oleh gemerlap dunia.

6 Pilar Dai yang Shiddiq
1. Niat yang Tulus  
    "Bukan untuk trending topic, tapi untuk menggapai ridha Ilahi."

2. Hati yang Lapang  
    Seperti Nabi Musa: "Ya Rabbi, lapangkanlah dadaku!" (QS. Thaha: 25).  

3. Ilmu yang Mendalam
   - Bukan sekadar hafal dalil, tapi paham konteks zaman.  

4. Kata-kata yang Menyentuh
   - Bukan retorika kosong, tapi kalimat yang lahir dari hati.  

5. Aksi Nyata  
   - Dakwah bukan teori, tapi aksi berkelanjutan.  

6. Dukungan Finansial  
   - Sedekah adalah bukti cinta pada dakwah.  

Syukur adalah Senjata

Di tengah dunia yang mengukur segala sesuatu dengan likes dan views, kita punya parameter lain: seberapa tulus syukur kita, seberapa dalam pengabdian kita.

Allah tak pernah meminta kita menjadi sempurna. Tapi Dia meminta kita bergerak:  
- Dari sekadar Alhamdulillah di lisan, menjadi Alhamdulillah dalam aksi.  
- Dari menikmati nikmat, menjadi menyalurkannya untuk umat.  

"Bersyukurlah, maka kau tak hanya mendapat tambahan nikmat—tapi juga makna."

Wallahu a’lam bish-shawab.

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update