Pasbana - Pada dekade 1950-an, Indonesia masih bergulat dengan berbagai tantangan dalam membangun kesatuan nasional.
Di tengah gejolak itu, seorang tokoh militer muda, Letkol Ahmad Husein, tampil sebagai pemimpin yang memperjuangkan pemerataan pembangunan dan otonomi daerah.
Ia adalah Ketua Dewan Banteng dan pencetus Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), sebuah gerakan yang lahir dari kritik tajam terhadap ketimpangan antara pusat dan daerah serta ancaman komunisme yang semakin menguat.
Namun, nama Ahmad Husein sering kali tenggelam dalam narasi sejarah nasional. Padahal, gagasannya tentang desentralisasi dan otonomi daerah menjadi cikal bakal konsep yang kini diterapkan dalam pemerintahan Indonesia.
Dewan Banteng dan Awal Mula PRRI
Lahirnya Dewan Banteng pada 20 Desember 1956 menjadi tonggak awal bagi perjuangan Ahmad Husein. Gubernur Sumatra Tengah saat itu, Roeslan Mulyoharjo, menyerahkan kepemimpinan provinsi kepada Husein dengan kesadaran penuh bahwa wilayah tersebut tak mendapatkan perhatian layak dari pemerintah pusat.Dalam waktu singkat, di bawah kepemimpinan Husein, Sumatra Tengah mengalami lonjakan pembangunan yang luar biasa. Jalan, jembatan, sekolah, universitas (termasuk Universitas Andalas), bank daerah, serta layanan kesehatan dan infrastruktur lainnya dibangun dengan pesat.
Bahkan, kebijakan menaikkan gaji wali nagari menjadi langkah revolusioner dalam memperkuat pemerintahan lokal.
Keberhasilan ini membuat Sumatra Tengah menjadi model pembangunan daerah bagi provinsi lain. Jenderal A.H. Nasution dan para pejabat di Jakarta mengakui pencapaian ini, tetapi di sisi lain, situasi politik nasional semakin memanas.
Benturan dengan Soekarno dan PKI
Pada akhir 1950-an, Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin mendapat tempat dalam kebijakan pemerintah pusat. Tokoh-tokoh intelektual Minangkabau seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Syafrudin Prawiranegara, dan Kolonel Dahlan Djambek mulai mendapat tekanan politik dan fitnah dari PKI.
Bahkan, rumah Natsir dan Djambek di Jakarta menjadi sasaran serangan granat, memaksa mereka meninggalkan ibu kota dan mencari perlindungan di Sumatra.
Ahmad Husein, yang melihat ancaman ini, mengambil sikap tegas. Pada 15 Januari 1958, ia mendeklarasikan PRRI, sebuah gerakan yang bertujuan untuk menegakkan keadilan pembangunan dan melawan dominasi pusat.
Namun, pada 17 April 1958, pemerintah pusat merespons dengan operasi militer besar-besaran untuk menghancurkan gerakan ini.
Warisan Ahmad Husein dan Relevansinya Hari Ini
Meski PRRI berakhir dengan kekalahan militer, gagasan Ahmad Husein tentang otonomi daerah dan pemerataan pembangunan tetap relevan hingga kini. Indonesia akhirnya mengadopsi kebijakan desentralisasi setelah reformasi 1998, dengan Undang-Undang Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan lebih besar kepada provinsi dan kabupaten dalam mengelola sumber daya mereka.Sejarawan Asvi Warman Adam mencatat bahwa perjuangan PRRI bukanlah pemberontakan untuk memisahkan diri, melainkan kritik keras terhadap ketidakadilan pemerintahan pusat.
Bahkan, dalam wawancara dengan Tempo, Ahmad Husein sendiri menegaskan, "Kami bukan separatis. Kami hanya ingin daerah mendapatkan haknya secara adil."
Sayangnya, narasi sejarah sering kali menyudutkan PRRI sebagai pemberontakan tanpa memahami konteks perjuangan mereka. Saat ini, ketika isu ketimpangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa masih menjadi perdebatan, warisan Ahmad Husein justru semakin relevan.
Pantas kiranya jika negara memberikan pengakuan resmi kepada Letkol Ahmad Husein sebagai Bapak Otonomi Daerah, mengingat perjuangannya yang telah meletakkan dasar bagi pemerintahan daerah yang lebih berdaya.
Sejarah mencatat, tetapi sudah saatnya kita memahami dan mengapresiasi peran tokoh-tokoh seperti Ahmad Husein dalam perjalanan bangsa ini. (*)