Pasbana - "Sambuah cadiak, kampuang tagadai." Begitu kata pepatah Minangkabau yang mengingatkan bahwa kecerdikan seseorang kadang bisa menjadi bumerang jika tidak disertai kebijaksanaan.
Dalam budaya Minangkabau, banyak tradisi yang bertahan di tengah arus modernisasi, salah satunya adalah peran mamak—paman dari garis ibu—sebagai pilar utama dalam keluarga besar.
Namun, sejauh mana peran ini masih relevan di era sekarang? Apakah mamak masih menjadi tumpuan atau hanya tinggal simbol adat semata?
Sejarah dan Asal-usul Peran Mamak
Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, di mana garis keturunan ditarik dari pihak ibu.Dalam sistem ini, mamak memiliki peran sentral dalam mengasuh dan membimbing kemenakannya.
Sejak zaman dahulu, seorang mamak bukan sekadar paman, tetapi juga pemimpin dalam rumah gadang, pengayom keluarga, serta penasehat dalam berbagai hal, termasuk pendidikan, pernikahan, dan warisan.
Peran ini berakar dari konsep bahwa seorang ibu tetaplah anggota keluarga besar tempat ia dilahirkan, bukan keluarga suaminya.
Oleh karena itu, tanggung jawab terhadap anak-anaknya lebih besar di tangan mamak daripada ayah biologis mereka.
Filosofi ini terangkum dalam pepatah, "Lambiak matah tanak kasudahannyo"—segala sesuatu harus dituntaskan dengan baik, termasuk tanggung jawab mamak kepada kemenakannya.
Perkembangan dan Perubahan Peran Mamak
Seiring dengan perubahan zaman, peran mamak mengalami pergeseran. Jika dahulu seorang mamak adalah penentu utama dalam pengambilan keputusan keluarga, kini perannya lebih sering berbagi dengan ayah kandung, yang semakin aktif dalam keluarga kecil.Di beberapa daerah perkotaan, peran mamak bahkan mulai pudar karena sistem keluarga inti yang lebih dominan.
Namun, bukan berarti peran mamak benar-benar hilang.
Namun, bukan berarti peran mamak benar-benar hilang.
Di banyak nagari (desa adat), mamak masih dihormati dan dijadikan tempat bertanya. Walau tidak sekuat dulu, nasihatnya tetap didengar.
Sebagian mamak modern bahkan beradaptasi dengan zaman, berperan sebagai mentor yang lebih fleksibel dalam memberikan arahan kepada kemenakannya.
Arahan Mamak mencegah agar sang kemenakan tidak salah jalan dan berlaku seperti "Bingung babali, cadiak bajua"—orang bodoh akan celaka, tapi orang cerdas akan selamat—menjadi pedoman agar mamak tetap relevan tanpa kehilangan akar budayanya.
Relevansi Peran Mamak di Masa Kini
Di era digital dan globalisasi ini, banyak keluarga Minangkabau mulai merantau ke kota-kota besar atau ke luar negeri. Dengan demikian, jarak geografis menjadi tantangan bagi peran mamak. Namun, bukan berarti nilainya hilang.Justru, dalam era modern ini, mamak bisa tetap berfungsi sebagai mentor kehidupan, baik dalam hal akademik, sosial, maupun karier.
Beberapa keluarga Minang tetap mempertahankan peran mamak dengan memanfaatkan teknologi, seperti grup WhatsApp keluarga yang menjadi sarana komunikasi antara mamak dan kemenakan.
Dalam beberapa kasus, mamak juga bertindak sebagai fasilitator bagi anak muda Minang yang ingin kembali memahami akar budayanya setelah lama hidup di perantauan. Seperti pepatah "Panciang kusuik ari lah sanjo, bak bungo kambang ndak jadi"—jika masalah tidak diselesaikan dengan bijak, maka akan sia-sia usaha yang telah dilakukan.
Mamak sebagai Mentor Modern
Seorang kemenakan bernama Rafi, yang lahir dan besar di Jakarta, mengaku awalnya tidak terlalu paham tentang budaya Minang. Namun, setelah berinteraksi lebih intens dengan mamaknya yang tinggal di Payakumbuh, ia mulai memahami nilai-nilai kehidupan yang diwariskan turun-temurun."Awalnya saya pikir mamak itu cuma gelar tanpa makna, tapi setelah saya ngobrol banyak dengannya, saya sadar bahwa mamak itu seperti mentor kehidupan," ujar Rafi.
Kisah ini menunjukkan bahwa peran mamak masih bisa tetap hidup asalkan ada kesadaran untuk mempertahankannya dengan cara yang relevan.
Mamak, Pilar yang Masih Berdiri
Apakah peran mamak masih relevan? Jawabannya tergantung bagaimana masyarakat Minangkabau mengadaptasinya. Mamak memang tidak lagi seperti dulu, tetapi esensinya tetap sama: sebagai panutan dan pembimbing.Jika peran ini bisa disesuaikan dengan zaman, maka budaya Minangkabau akan terus bertahan tanpa kehilangan identitasnya.
Sebagai penutup, marilah kita ingat pepatah ini: "Malagak jadih, pangana indak nampak"—jangan hanya terlihat hebat di luar, tapi kosong di dalam.
Peran mamak bukan hanya sekadar gelar, tetapi juga tanggung jawab yang harus dijalankan dengan penuh kebijaksanaan. Jika kita mampu menyesuaikan tradisi ini dengan dinamika zaman, maka adat Minangkabau akan tetap kuat dan bermakna untuk generasi mendatang. Makin tahu Indonesia. (*)