Notification

×

Iklan

Iklan

Sesar Raksasa di Bawah Kaki Kita

23 April 2025 | 19:05 WIB Last Updated 2025-04-23T12:05:36Z



Pasbana - Ada sesuatu yang tak terlihat tapi terus bergerak di bawah tanah Sumatra. Ia bukan makhluk gaib atau misteri urban semacam "penunggu gunung"—melainkan sesuatu yang jauh lebih nyata: Sesar Besar Sumatra. 

Panjangnya 1.900 km, menjalar dari ujung Aceh sampai Lampung, membelah pulau seperti guratan luka lama yang tak kunjung sembuh.

Beberapa hari lalu, gempa M4.6 di Padang Panjang jadi pengingat halus—tapi tidak lembut—bahwa si “raksasa tidur” ini masih sering menggeliat. 

Dan kalau dia sedang tidak mood, satu segmen saja bisa bikin bumi bergoyang sekelas konser dangdut di lapangan terbuka.

Ironisnya, sesar ini sering menciptakan lanskap-lanskap indah yang kita puja di Instagram: Ngarai Sianok, Danau Singkarak, Lembah Kerinci—semuanya warisan geologi dari gerakan lempeng yang tak pernah libur. 

Tapi seperti hubungan yang terlalu indah untuk jadi kenyataan, keindahan ini menyimpan risiko besar. 

Ketika sesar bergerak, kita tak hanya bicara soal gempa. Tsunami lokal, longsor, hingga likuefaksi bisa muncul sebagai “paket lengkap bencana alam”.

Dari Aceh hingga Lampung: Tiap Provinsi Punya Cerita


Aceh punya 20 segmen sesar, terbanyak di Sumatra. Salah satunya, Segmen Seulimeum Utara, bisa bergeser hingga 20 mm per tahun. Itu artinya, sesar ini lebih rajin bergerak daripada sebagian dari kita yang masih mager berolahraga.

Sumut punya segmen Renun A dan Angkola—keduanya pernah bikin sejarah gempa besar. Kalau ada kompetisi "segmen paling aktif", segmen ini pantas masuk nominasi.

Sumbar adalah panggung utama drama geologi. Dari Sianok hingga Suliti, setiap segmen pernah membuat headline. Bahkan Singkarak pun pernah dihajar tsunami lokal pada 1926, bukan karena gempa laut, tapi karena tanah yang tiba-tiba amblas hingga 10 meter!

Danau Bisa Tsunami, Tanah Bisa Cair

Tunggu, danau bisa menimbulkan tsunami? Bisa. Bahkan kecepatannya bisa setara motor di jalur cepat: 122 km/jam. 

Itu terjadi ketika tanah longsor ke air dan menciptakan gelombang. Potensi ini masih mengintai di Singkarak, Kerinci, dan Ranau.

Dan jangan lupakan likuefaksi—situasi absurd saat tanah berubah jadi lumpur lengket seperti bubur sumsum karena guncangan. Kota-kota seperti Pasaman, Pidie, hingga Rejang Lebong berada di wilayah tanah aluvial yang rawan likuefaksi. Ibarat karpet rapuh yang bisa runtuh sewaktu-waktu.

Apa yang Harus Kita Lakukan?

Kita tidak bisa menghentikan sesar bergerak, sama seperti kita tak bisa menahan waktu. Tapi kita bisa bersiap:

Pemetaan risiko: Tahu di mana sesar melintas adalah langkah pertama menuju keselamatan.

Bangunan tahan gempa: Jangan hanya tahan cuaca, tapi juga tahan goyangan 6 skala Richter ke atas.

Sistem peringatan dini: Biar kita tahu mana yang gempa dan mana yang cuma tetangga jatuhkan galon.

Edukasi masyarakat: Karena pengetahuan bisa jadi penyelamat saat semua mulai bergoyang.

Sesar Besar Sumatra adalah Kenyataan, Bukan Isu Musiman

Ini bukan hanya pekerjaan pemerintah atau ahli geologi. Ini urusan kita semua yang tinggal di tanah yang sama. Mitigasi bukan soal "jika", tapi soal "ketika".

Karena satu hal yang pasti dari sesar ini: ia akan terus bergerak. Pertanyaannya, apakah kita sudah cukup siap untuk ikut bergeser bersama kesadaran?

Dan kalau masih ada yang menganggap ini hanya cerita horor geologi, ingatlah: sesar ini tidak minta panggung, tapi ketika ia naik pentas, semua akan jadi penonton—dan mungkin, korbannya.

Jadi, kalau besok bumi kembali bergoyang, semoga bukan karena lagu dangdut—melainkan karena kita lupa bersiap.(*) 
Oleh: Redaksi

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update