Mentawai, pasbana - Di tengah heningnya hutan tropis Kepulauan Mentawai, ketika sinar matahari menyelinap di antara rimbunnya daun sagu, ada satu rahasia kuliner yang telah diwariskan turun-temurun oleh masyarakat adat: ulat sagu.
Bagi masyarakat Mentawai, ulat sagu bukan sekadar makanan. Ia adalah bagian dari tradisi, simbol kedekatan dengan alam, dan sumber protein alami yang menyelamatkan di kala hasil bumi tak menentu. Larva dari kumbang merah sagu ini tumbuh di batang pohon sagu yang membusuk—tempat yang mungkin tak banyak orang lirik, tetapi justru menjadi ladang emas protein bagi suku pedalaman.
Rasanya? Jangan Dulu Mengernyitkan Dahi
Coba bayangkan perpaduan tekstur antara kulit luar yang sedikit renyah dan bagian dalam yang lembut, juicy, dan gurih. Beberapa menyamakannya dengan daging ayam muda berlemak, bahkan ada juga yang bilang rasanya mirip kacang panggang. Ketika dibakar di atas bara api atau digoreng garing, aroma lemaknya menari-nari di udara, menggoda siapa pun yang lewat.“Kalau dimakan mentah, rasanya agak manis dan lembut, tapi kalau dibakar lebih gurih dan bikin nagih,” tutur Hendrik Simatalu, seorang tetua adat dari Desa Muntei, Siberut Selatan. Ia mengenang bagaimana sejak kecil terbiasa ikut orang tua mencari ulat sagu di batang pohon tua, lalu menikmatinya bersama kelapa parut atau sambal.
Tak Hanya Lezat, Tapi Juga Super Bergizi
Jangan salah, di balik tampilannya yang mungkin bikin sebagian orang bergidik, ulat sagu menyimpan kekayaan nutrisi yang luar biasa. Data dari Food and Agriculture Organization (FAO) menyebutkan bahwa 100 gram ulat sagu mengandung sekitar:9,3 gram protein, cukup untuk membantu regenerasi sel tubuh,
13,1 gram lemak sehat, yang baik untuk energi,
30 mg kalsium, baik untuk tulang, serta zat besi, fosfor, dan energi yang cukup tinggi (182 kkal).
Bahkan, beberapa ahli gizi menyebut ulat sagu sebagai superfood tradisional karena nutrisinya yang lengkap dan alami.
“Ini makanan masa depan dari masa lalu. Kalau diproses dengan baik dan diterima pasar, bisa menjadi alternatif sumber protein yang ramah lingkungan,” kata Rizka Anggraini, seorang ahli gizi.
Makanan, Identitas, dan Harmoni dengan Alam
Lebih dari sekadar soal rasa dan gizi, ulat sagu adalah wujud kearifan lokal. Bagi suku Mentawai, mengambil ulat sagu adalah bagian dari praktik hidup berdampingan dengan alam. Mereka tidak menebang pohon sagu sembarangan, dan selalu menjaga rotasi pemanfaatan hutan agar tetap lestari.Proses pencarian ulat sagu juga menjadi momen kebersamaan. Anak-anak, remaja, hingga orang tua turun bersama, menggali batang sagu sambil berbagi cerita dan tawa. Momen ini bukan hanya tentang mencari makanan, tapi juga menanam nilai kebersamaan dan penghormatan pada alam.
Dari Hutan ke Meja Makan Wisatawan
Kini, pesona ulat sagu mulai mencuri perhatian wisatawan. Beberapa penginapan di Mentawai menyajikan menu ulat sagu bakar sebagai bagian dari kuliner experience. Para pelancong yang berani mencoba, umumnya terkejut dengan kelezatannya.“Saya kira bakal aneh, ternyata enak banget. Kaya lemak ayam, tapi lebih halus,” kata Sarah, turis asal Prancis yang menjajal ulat sagu saat berkunjung ke Siberut.
Melihat potensi itu, pemerintah daerah pun mulai menggagas pelatihan pengolahan ulat sagu menjadi camilan modern—seperti keripik, abon, hingga olahan kering yang bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Menjaga Tradisi, Menyambut Masa Depan
Di era ketika dunia mencari solusi pangan yang berkelanjutan dan rendah jejak karbon, ulat sagu dari hutan Mentawai datang membawa pesan sederhana: bahwa masa depan bisa ditemukan dalam tradisi. Bahwa apa yang tumbuh secara alami, dipanen dengan bijak, dan dinikmati tanpa rakus, bisa menjadi solusi bagi dunia yang lapar.Dan di balik batang-batang sagu tua itu, masyarakat Mentawai telah lebih dulu hidup dalam keseimbangan, jauh sebelum dunia modern memahami makna keberlanjutan. Makin tahu Indonesia. (budi)